Senin, 01 Maret 2010

GUS JAKFAR(GUSMUS)

GUS JAKFAR
A'uudzu billahi minasy syaithanirrajiim
Bismillaahirrahmanirrahiim
Walhamdulillah, wassholatu wassalamu 'ala Rasulillaah
GUS JAKFAR
Cerita Pendek : A Mustofa Bisri
Kompas - 6/23/2002
Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita
Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang
membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu, "Saya sendiri tidak paham
apa maksudnya."

"Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, pegawai
Pemda yang sering mengikuti pengajian Subuh Kiai Saleh, "Matanya itu
lho. Sekilas saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa
melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini anaknya
penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu.
Sebelum dilamar orang sabrang, kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus
Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang
ngelamar ya?!'. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang
melamarnya."

"Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru Slamet, "kalian kan
mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV
itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah
capek menghirup nafas ya?!' Lho, ternyata besoknya Kang Kandar
meninggal."

"Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar," sahut Ustadz
Kamil, "nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang
Kandar."

"Saya malah mengalami sendiri," kata Lik Salamun, pemborong yang
dari tadi sudah kepingin ikut bicara, "waktu itu, tak ada hujan tak
ada angin, Gus Jakfar bilang kepada saya, 'Wah saku sampeyan kok
mondol-mondol, dapat proyek besar ya?!' Padahal saat itu saku saya
justru sedang kempes. Dan percaya atau tidak, esok harinya, saya
memenangkan tender yang diselenggarakan pemda tingkat propinsi."

"Apa yang begitu itu yang disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang
sejak tadi hanya asyik mendengarkan.

"Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil, "makanya saya justru takut
ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran
saya terganggu."

***

MAKA ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger;
terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji
tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin, yang selama
ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang
berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah
menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi
membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang
berbau ramalan. Ringkas kata dia benar-benar kehilangan
keistimewaannya.

"Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu,"
komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan, "wah, sayang sekali! Apa
gerangan yang terjadi pada beliau?"

"Kemana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik
Salamun, "kalau saja kita tahu kemana beliau, mungkin kita akan
mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian
berubah."

"Tapi bagaimana pun, ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil, "paling
tidak kini, kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa
deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus
mencari ilmu. Maka jika kita ingin mengetahui apa yang terjadi
dengan gus kita ini, hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang,
sebaiknya kita langsung saja menemui beliau."

Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jumat sehabis
wiridan salat Isya, dimana Gus Jakfar prei, tidak mengajar,
rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir
semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh
melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat
berupa keseganan, was-was, dan rasa takut.

Setelah ngobrol kesana-kemari akhirnya Ustadz Kamil berterus terang
mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan, "Gus, di samping
silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit
keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu
latar belakang perubahan sikap sampeyan."

"Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh
arti, "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa
tidak berubah."

"Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang," tukas
Mas Guru Slamet, "kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau
lagi membaca bahkan diminta pun tak mau."

"O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia
tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama, baru setelah
menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan: "Ceritanya panjang."
Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.

"Kalian ingat, ketika saya lama menghilang?" akhirnya Gus Jakfar
bertanya, membuat kami yakin dia benar-benar siap untuk bercerita,
maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi ketemu
ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di
sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar
200 km ke arah selatan. Nama Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi
itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya
sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau
pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing."

"Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan
saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada wali Tawakkal
itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun
pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat
bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata ketika sampai disana,
hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai
Tawakkal. Baru setelah seharian melacak kesana-kemari, ada seorang
tua yang memberi petunjuk. 'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak
disana itu,' katanya, 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah
sungai kecil, terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang,
nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah kemungkinan
besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk
yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti
yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali
itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?' 'Kiai Tawakkal.' 'Ya,
kiai Tawakal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.' Saya pun
mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan
sekelompok rumah gubuk dari bambu. Dan betul, di gubuk bambu yang
terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah
Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua.
Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah
merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan
Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sebagai orang tua.
Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah
memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua
kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah."

Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian
melanjutkan, "Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan
terganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang, ada tanda yang
jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang
cukup besar berbunyi 'Ahli neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah
selama ini saya melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidak
mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang
yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang
lain, disurat sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-
yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda
itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat
tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila."

"Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun
secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah
berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan
keganjilan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal,
saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang mencurigakan. Kegiatan
rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai
yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat
seperti dhuha, tahajjud, witir, dan sebagainya, mengajar kitab-kitab
(umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu;
dan semisalnya. Kalau pun beliau keluar biasanya untuk memenuhi
undangan hajatan atau-dan ini sangat jarang sekali- mengisi
pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam
tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan
kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam
lelana brata kata mereka."

"Baru setelah beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya
mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai
Tawakkal keluar. Saya pikir inilah kesempatan untuk mendapatkan
jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya."

"Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat kiai keluar
dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak
mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya.
Dengan hati-hati, saya pun membuntutinya dari belakang; tidak
terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak
hingga ke jalan desa, kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap
tegap. Akan kemana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam
lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati
mengikutinya, khawatir tiba-tiba kiai menoleh ke belakang."

"Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika
kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak
kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh
pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong, saya
mendekati warung terpencil dengan penerangn petromak itu. Dua orang
wanita-yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua-
dengan dandanan yang menor, sibuk melayani pelanggan sambil menebar
tawa genit kesana-kemari. Tidak mungkin kiai mampir ke warung ini,
pikir saya; ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang
suasananya saja mengesankan kemesuman ini. 'Mas Jakfar!' tiba-tiba
saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya,
memanggil-manggil nama saya. Masya Allah, saya hampir-hampir tidak
mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata
saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah.
Dengan kikuk dan pikiran tak karuwan, saya pun terpaksa masuk dan
menghampiri kiai saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh
dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum
penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang di sampingnya untuk
bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!'. Lalu, kepada orang-
orang yang ada di warung, kiai memperkenalkan saya. Katanya: 'Ini
kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari
pengalaman katanya.' Mereka yang duduknya dekat, serta merta
mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara
yang jauh, melambaikan tangan."

"Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam
mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar kiai menawari, 'Minum kopi ya?'
Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi satu lagi, yu!' kata kiai
kemudian kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat
saya. 'Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggaan
warung ini!' Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal
mengangguk."

"Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan 'kawan-kawan'nya dan
membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir,
bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan
dihormati para kiai lain, bisa berada di sini. Akrab dengan orang-
orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang
disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang
sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat
jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan
karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di
keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap pandangan saya terhadap
beliau berubah. 'Mas, sudah larut malam," tiba-tiba suara Kiai
Tawakkal membuyarkan lamunan saya, 'kita pulang, yuk!' Dan tanpa
menunggu jawaban saya, kiai membayari minuman dan makanan kami,
berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau
dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati
kebun sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi
kami lalui, 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!'
katanya."

"Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai
di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang
menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai,
seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau
menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau
melambai, 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun
kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di
seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon
randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa
menengok saya yang sibuk berpakaian, 'kita masih punya waktu, insya
Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.' Setelah saya ikut
duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, kiai berkata
mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kau cari?
Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kau baca di
kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang
mahir melihat tanda-tanda, menjadi ragu terhadap kemahiranmu
sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar
rentetan pertanyaan-pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya
tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus
berbicara. 'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena
kau melihat tanda 'Ahli neraka' di kening saya. Kau pun tidak perlu
bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang
pantas masuk neraka. Karena pertama, apa yang kau lihat belum tentu
merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan
tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka
terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke sorga atau
ke neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke sorga atau neraka,
sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau
berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau
berani mengatakan bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang
sebelah mata itu, pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita
ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat denganNya,
tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa?
Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?' Aku
hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil
menepuk-nepuk punggung saya, 'Kau harus lebih berhati-hati bila
mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah
tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan.
Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah.
Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur, ujub, atau sikap-
sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan
mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabbur
dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan
kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.' Malam itu saya benar-benar
merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama
ini sudah saya ketahui. 'Ayo, kita pulang!' tiba-tiba kiai
bangkit, 'Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau
boleh pulang.' Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah
mendapat banyak dari kiai luar biasa ini."

"Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak
tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh
berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti
orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu
dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai
Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari
mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah
sembahyang, seseorang menghampiri saya, 'Apakah sampeyan Jakfar?'
tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah
bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya
sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.' 'Beliau
dimana?' tanya saya buru-buru. 'Mana saya tahu?' jawabnya, 'Mbah
Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari
mana beliau datang dan kemana beliau pergi.' Begitulah ceritanya.
Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil merubah sikap
saya itu tetap merupakan misteri."

Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi
mendengarkan, masih diam tercenung, sampai Gus Jakfar kembali
menawarkan suguhannya. ***

Rembang, Mei 2002

Tidak ada komentar: