Rabu, 21 Oktober 2009

Dia, Saya dan Takwa


8 Juni 2006 21:51:21
Oleh: A. Mustofa Bisri

Kedatangannya hari itu ke rumah saya merupakan kejutan. Pada waktu berkenalan di Jakarta pertama kali beberapa tahun yang lalu, dia kelihatan seperti tidak begitu mengacuhkan saya, sampai saya merasa tidak enak sendiri. Mereka telah mengusiknya. Sekarang, tak ada hujan tak ada angin, tiba-tiba dia datang ke gubug saya. Saya gembira sekali.

Dia datang menjelang maghrib dan shalat bersama para santri di surau saya yang tidak ada mihrabnya. Waktu wiridan dia sempat saya perhatikan. Dia yang mengenakan celana jeans dan gundulan, keliatan begitu mencolok di tengah para santri yang bersarung dan berpeci. Tapi mencolok lagi kekhusyukan yang wajar. Dan entah mengapa tiba-tiba saya teringat hadist, “ Al-Muslimu miraatu-l-muslimin.” Orang Islam adalah cermin orang Islam yang lain. Dan saya ingin bercermin pada diri tamu saya yang khusus ini.

Dalam banyak hal dia keliatan sangat kontras dengan saya. Dia halus, bicaranya halus. Wajahnya sedap dipandang. Namanya Jawa dan sederhana, nama saya Arab dan banyak embel-embel. Dia dari pedalaman, saya dari pesisir. Mungkin dia dibesarkan dilingkungan priyayi, sedangkan saya sejak kecil hidup di kalangan santri. Dia berpendidikan umum dan menurutnya buta huruf Arab. Sementara saya selamanya dipesantren dan akrab dengan bahasa Al Qur’an. Kenalan dia bongso Goethe, Leonardo da Vince, Van Gough, Cezanne, Monet, Gauguin, Picasso, Kafka, Sartre, Camus, Chekov, Klee, Zola, Kandinsky, dan entah siapa lagi. Sedangkan kenalan saya bongso as-Syafi’y, ar-RAafi’y, an-Nawawy, Ibnu Hajar, Romly, Ibnu Malik, al-Khalil, Abu Nawas, Al-Bushiry, Al-Ghazaly, Juneid, Zakaria, al-Anshary…Dia dikenal sebagai seniman sementara orang-orang disekeliling saya menyebut saya kiai.

Dari segi kegiatan, yang saya ketahui urusannya yaitu seputar seni berseni. Dia pelukis dan sastarawan berhasil. Disamping menulis, dia sering membuat ilustrasi di majalah – majalah san mendekor panggung untuk keperluan suatu pementasan. Sementara saya, disamping mengajarkan kitab – kitab kuning di pesantren, sering di undang memberikan ceramah keagamaan atau pengajian umum. Dalam organisasi keagamaan, saya mempunyai kedudukan yang cukup tinggi.

Dari gambaran perbandingan sekilas di atas barangkali mudah orang menarik kesimpulan, di bidang agama tentu saja saya lebih hebat daripada dia. Di lihat dari predikatnya saja, dia seniman dan saya kiai. Apalagi bila diingat kenyataan bahwa di banyak kelangan, khususnya masyarakat awam, seniman sering diidentikan dengan orang yagn hidup urakan. Sebaliknya, kiai hampir-hampir dianggap Nabi. (Apalagi banyak “kiai” yang sering sengaja menyitir hadis, “Al-Ulama waratsatu-l- anbiyaa,’ dengan pengertian : Para kiai adalah pewaris kedudukan Nabi – nabi!). Tentunya saya lebih saleh dan lebih dekat dengan Tuhan daripada dia. Bagaimana kiai yang kerjanya memberi pengajian agama tidak lebih takwa dari seniman ketoprakan?.

Tapi benarkah saya lebih takwa daripada dia, yang berarti saya lebih mulia di sisi Tuhan ? Karena, bukankah “Inna akramakumm ‘indahallahi atqaakum’? (sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa ).

Ternyata nilai takwa seseorang tidak semudah yang dilakukan orang awam. Takwa sendiri oleh banyak ulama dirumuskan dalam banyak definisi. Ada yang mengatakan bahwa takwa adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Da pula yang mengatakan bahwa takwa adalah berlindung pada taat Allah dari hukuman – Nya. Yang lain merumuskan : takwa adalah menjaga diri dari apa saja yang mengundang hukuman Alllah. Takwa ialah menghindari segala tata karma syariat. Takwa pada ketaatan berarti ikhlas, dan pada maksiat berarti tidak melakukannya. Dan masih banyak lagi definisi-definisi yang lain.

Allah sendiri di awal Al-Qur’an menyifatkan orang – orang yang bertakwa (al-Muttaqien) sebagai : “Mereka yang beriman kepada yang ghaib (percaya kepada yang maujud yang tak dapat ditangkap pancaindera, karena adanya dalil yang menunjukan kepada adanya), yang mendirikan salat(menunaikannya dengan teratur sesuai aturan-aturannya), yang menafkahkan sebagian rezeki yang Ia anugerahkan kepada mereka, dan mereka beriman kepada Al- Qur’an yang diturunkan kepada Rasullah saw. Dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya serta meyakini adanya hari akhir.” (Q.S. Al- Baqarah:2-4)

Sedangkan di surat Ali Imran : 135-5, Allah memberikan al-Muttaqien sebagai “Mereka yang menafkahkan (harta mereka) baik diwaktu luang maupun sempit, mereka yang menahan amarahnya dan mamaafkan orang lain, mereka yang apabilamelakukan perbuatan keji atau melalimi diri sendiri segera ingat Allah lalu memohon ampun tehadap dosa-dosa mereka --- dan siapa lagi yang mengampuni dosa-dosa kecuali Allah?--- dan mereka tidak ngotot meneruskan apa yang mereka lakukan itu, sedang mereka mengetahui.”

Ternyata sepanjang yang saya ketahui tentang takwa yang menjadi patokan kemuliaan di sisi Tuhan itu, kesenimanan dan kekiaian tidak termasuk kriterium. Jadi sepanjang menyangkut soal ketakwaan, saya tidak bisa sekadar mengukurnya dari kesenimannya dan kekiaian saya. Apalagi Rasullah sendiri pernah berkata, sambil menunjuk dada, “at-Taqwa ha hunaa.” ( Takwa itu di sini ).

Tapi saya tidak sedang mengukur takwa siapa-siapa. Saya sedang bercermin pada diri kawan saya yang seniman dan saya melihat beberapa hal yang dapat saya manfaatkan untuk diri saya.

Saya melihat kekhusyukan tidak dalam salat dan wiridannya saja. Saya melihat nya juga pada saaat dia bicara atau mendengarkan tentang Tuhan, bahkan tentang ciptaan-Nya. Dia menyimak dan merekam segala sesuatu yang dapat mendekatkannya kepada Allah. Atau bahkan dia menyimak dan merekam-Nya pada segala sesuatu.

Orang mungkin menganggapnya muallaf, tapi dia salat di awal waktunya. Dia tahallul dari ihram hajinya dengan mencukur gundul rambutnya yang indah itu; tidak sekedar menggunting beberapa helai. Ketika orang Demak menceritakan kepadanya tentang pokok kayu yang bertahun-tahun tergolek terlantar ---- karena dulu waktu datang menumpang air bah untuk melamar jadi bahan bangunan mesjid Demak, dia “tidak diterima” sebab para wali sudah selesai membangun mesjid agung itu --- dia tampak begitu iba dan berjanji, kalau dia punya rezeki, dia akan mengangkat pokok kayu itu dan menjadikannya tempat ibadat, sesuai “keinginan” nya. Ketika dia menulis tentang masjid-masjid, dia mewajibkan dirinya untuk salat Jum’at dan beri’tikaf di mesjid yang bersangkutan . Ketika dia saya ajak bersilaturrahim ke tempat kiai dusun yang hidupnya diabadikan kepada masyarakat, dia begitu bersemangat. Barangkali sama dengan semangat saya seandainya di Jakarta dia mengajak saya ke Ancol. Lebih dari itu, dia secara intens merekam dan meng-gepok-tular-kan pengalaman batinnya kepada Allah lewat ceramah dan buku-bukunya untuk menambah kekayaan batin orang lain.

Walhasil saya benar-benar memperoleh manfaat dari kehadirannya.
Mungkin anda sudah mengenalnya, atau bahkan lebih mengenalnya daripada saya. Dialah saudara saya, Danarto.

source: http://gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=2&id=394

Tidak ada komentar: